Sabtu, 20 Oktober 2012

Resusitasi Jantung Paru


Henti jantung dan henti napas bukanlah kejadian yang sering terjadi walapun di rumah sakit. Tidak semua penderita yang mengalami cardic arrest diresusitasi, melainkan hanya yang mungkin untuk hidup lama tanpa meninggalkan kelainan-kelainan di otak. Jadi resusitasi ialah usaha mengembalikan fungsi pernafasan dan/atau sirkulasi dan penanganan akibat henti nafas (respiratory arrest) dan/atau henti jantung (cardiac arrest) pada orang, di mana fungsi tersebut gagal total oleh suatu sebab yang memungkinkan untuk hidup normal selanjutnya bila kedua fungsi tersebut bekerja kembali. Jadi bukan pada akhir suatu stadium agonal, di mana karena memburuknya keadaan umum dan kondisi organ semakin buruk dan akhirnya gagal total; atau pada orang yang pusat diotaknya sudah mengalami kerusakan karena sebab-sebab per nafasan / sirkulasi sehingga tidak ada lagi kemungkinan untuk hidup.
Keberhasilan resusitasi dimungkinkan oleh adanya waktu tertentu diantara mati klinis dan mati biologis. Mati klinis terjadi bila dua fungsi penting yaitu pernafasan dan sirkulasi mengalami kegagalan total. Jika keadaan ini tidak cepat ditolong, maka akan terjadi mati biologis yang irreversibel. Setelah tiga menit mati klinis ( jadi tanpa oksigenisasi ), resusitasi dapat menyembuhkan 75% kasus klinis tanpa gejala sisa. Setelah empat menit persentase menjadi 50% dan setelah lima menit 25%. Maka jelaslah waktu yang sedikit itu harus dapat dimanfaatkan sebaik mungkin.
Di samping mati klinis dan biologis dikenal juga istilah mati sosial yaitu keadaan di mana pernafasan dan sirkulasi terjadi spontan atau secara buatan, namun telah mengalami aktifitas kortikal yang abnormal ( perubahan EEG ), penderita dalam keadaan sopor atau koma tanpa kemungkinan untuk sembuh; jadi dalam keadaan vegetatif. Agar suatu resusitasi berhasil maksimal tentu saja memerlukan operator yang cekatan dan trampil.
Waktu satu menit, sangat berguna dan lebih baik memberikan resusitasi pada orang yang “sedang meninggal” daripada yang “telah meninggal”
FASE-FASE RESUSITASI KARDIO PULMONER
RJP dibagi terutama untuk memudahkan latihan dan mengingat, dalam fase dan langkah sebagai berikut :
FASE I : Tunjangan hidup dasar (Basic Life Support) yaitu prosedur pertolongan darurat mengatasi obstruksi jalan nafas, henti nafas dan henti jantung, dan bagaimana melakukan RJP secara benar.
Terdiri dari :
 A (airway) : menjaga jalan nafas tetap terbuka.
 B (breathing) : ventilasi paru dan oksigenisasi yang adekuat.
 C (circulation) : mengadakan sirkulasi buatan dengan kompresi jantung paru (KJP)
FASE II : Tunjangan hidup lanjutan (Advance Life Support);
yaitu tunjangan hidup dasar ditambah dengan :
 D ( drugs ) : pemberian obat-obatan termasuk cairan.
 E ( EKG ) : diagnosis elektrokardiografis secepat mungkin setelah dimulai KJP, untuk mengetahui apakah ada fibrilasi ventrikel, asistole atau agonal ventricular complexes.
 F ( fibrillation treatment ) : tindakan untuk mengatasi fibrilasi ventrikel.
FASE III : Tunjangan hid up terus-menerus (Prolonged Life Support).
 G (Gauge) : Pengukuran dan pemeriksaan untuk monitoring penderita secara terus menerus, dinilai, dicari penyebabnya dan kemudian mengobatinya.
 H (Head) : Tindakan resusitasi untuk menyelamatkan otak dan sistim saraf darikerusakan lebih lanjut akibat terjadinya henti jantung, sehingga dapat dicegah terjadinya kelainan neurologik yang permanen.
 H (Hipotermi) : Segera dilakukan bila tidak ada perbaikan fungsi susunan saraf pusat yaitu pada suhu antara 30° - 32°C.
 H (Humanization) : Harus diingat bahwa korban yang ditolong adalah manusia yang mempunyai perasaan, karena itu semua tindakan hendaknya berdasarkan perikemanusiaan.
 I (Intensive care) : Perawatan intensif di ICU, yaitu : tunjangan ventilasi : trakheostomi, pernafasan dikontrol terus menerus, sonde lambung, pengukuran pH, pCO2 bila diperlukan, dan tunjangan sirkulasi, mengendalikan kejang.
FASE I : TUNJANGAN HIDUP DASAR
Adalah prosedur pertolongan darurat, termasuk di dalamnya pengenalan henti jantung (cardiac arrest) dan henti napas (respiratory arrest) dan bagaimana melakukan RJP yang tepat untuk menyelamatkan nyawa sampai korban dapat dibawa atau tunjangan hidup lanjutan sudah tersedia. Di sini termasuk langkah-langkah ABC dari RJP :
© A (Airway) : Jalan nafas terbuka.
© B (Breathing : Pernapasan, pernapasan buatan RJP.
© C (Circulation) : Sirkulasi, sirkulasi buatan.
Indikasi tunjangan hidup dasar terjadi karena :
1.     Henti napas.
2.     Henti jantung, yang dapat terjadi karena :
© Kolaps kardiovaskular
© Fibrilasi ventrikel atau
© Asistole ventrikel.
Pernapasan buatan
Membuka jalan napas dan pemulihan pernapasan adalah dasar pemapasan buatan.
Cara mengetahui adanya sumbatan jalan napas dan apne :
© Lihat gerakan dada dan perut
© dengar dan rasakan aliran udara melalui mulut atau hidung.
Pada sumbatan total dengan pernapasan spontan, tidak terasa / terdengar aliran udara melalui mulut / hidung dan ada kesukaran bernapas dan berlebihan, hingga menggunakan otot pernapasan tambahan, adanya retraksi interkostal, supraklavikula dan ruang suprastemal. Pada sumbatan sebagian dengan pernapasan spontan/buatan, ada bunyi aliran udara, misalnya : snoring ( karena sumbatan pada jaringan lunak hipofaring ), crowing ( karena laringospasme ), gurgling ( karena benda asing ) atau wheezing ( karena obstruksi bronchial ).
Kegagalan pernapasan ( apnea ) ditandai dengan kurang atau hilangnya usaha bernapas, tidak adanya gerakan dada atau perut bagian atas, dan tidak adanya aliran udara melalui hidung atau mulut.
Jalan napas (airway) :
Berhasilnya resusitasi tergantung dari cepatnya pembukaan jalan napas. Caranya ialah segera menekuk kepala korban ke belakang sejauh mungkin, posisi terlentang kadang-kadang sudah cukup menolong karena sumbatan anatomis akibat lidah jatuh ke belakang dapat dihilangkan. Kepala harus dipertahankan dalam posisi ini.
Bila tindakan ini tidak menolong, maka rahang bawah ditarik ke depan. Caranya:
© Tarik mendibula ke depan dengan ibu jari sambil
© Mendorong kepala ke belakang dan kemudian,
© Buka rahang bawah untuk memudahkan bernapas melalui mulut atau hidung.
Penarikan rahang bawah paling baik dilakukan bila penolong berada pada bagian puncak kepala korban. Bila korban tidak mau bernapas spontan, penolong harus pindah ke samping korban untuk segera melakukan pernapasan buatan mulut ke mulut atau mulut ke hidung.
Pernapasan (breathing)
Dalam melakukan pernapasan mulut ke mulut penolong menggunakan satu tangan di belakang leher korban sebagai ganjalan agar kepala tetap tertarik ke belakang, tangan yang lain menutup hidung korban ( dengan ibu jari dan telunjuk ) sambil turut menekan dahi korban ke belakang. Penolong menghirup napas dalam kemudian meniupkan udara ke dalam mulut korban dengan kuat. Ekspirasi korban adalah secara pasif, sambil diperhatikan gerakan dada waktu mengecil. Siklus ini diulang satu kali tiap lima detik selama pemapasan masih belum adekuat.
Pernapasan yang adekuat dinilai tiap kali tiupan oleh penolong, yaitu diperhatikan :
© gerakan dada waktu membesar dan mengecil
© merasakan tahanan waktu meniup dan isi paru korban waktu mengembang
© dengan suara dan rasakan udara yang keluar waktu ekspirasi.
Tiupan pertama ialah 4 kali tiupan cepat, penuh, tanpa menunggu paru korban mengecil sampai batas habis. Teknik mulut hidung kadang-kadang lebih efektif terutama bila mulut korban sukar dibuka, atau luka berat di mulut. Caranya sama dengan mulut ke mulut hanya tiupan dilakukan melalui hidung sedangkan mulut korban ditutup. Sebaliknya, pada tiupan ke hidung, mulut korban dibuka sewaktu ekspirasi karena langit-langit mulut ( soft palate ) dapat mengakibatkan sumbatan di daerah nasofaring; tiupan diulang satu kali tiap lima detik.
Pada penderita yang mendapat laringektomi maka tiupan dapat langsung ke lubang. Di sini tidak perlu penarikan kepala ataupun penarikan rahang bawah, yang perlu adalah menutup mulut dan hidung penderita waktu meniup agar udara tidak keluar.
Anak dan bayi :
Di sini mulut penolong dapat menutup seluruh mulut dan hidung anak dan volume udara yang ditiup lebih kecil. Tiupan untuk anak lebih lembut, pada hayi cukup meniup dengan pipi. Tiupan diulang satu kali tiap tiga detik. Hati-hati waktu menarik kepala bayi ke belakang karena lehemya masih lunak hingga malah dapat menyumbat jalan napas. Bila ada kecurigaan patah tulang leher, pembukaan jalan napas hanya dengan menarik rahang bawah ke depan.
Benda asing (foreign bodies) :
Penolong tidak perlu mencari benda asing di jalan napas; usaha pertama waktu meniup paru akan menunjukkan adanya sumbatan jalan napas; di sini jalan napas harus segera dibersihkan. Caranya : Korban dimiringkan, pundak ditopang oleh lutut penolong. Mulut korban dibuka paksa dengan teknik jempol telunjuk disilangkan. Kemudian masukkan telunjuk / dengan jari tengah mulai dari pipi ke arah dasar lidah sampai tenggorokan, dengan gerakan menyapu. Ulangi beberapa kali sampai bersih. Bila perlu bantu laringoskop. Bila belum berhasil, atau terjepit di belakang epiglottis, maka segeralah balikkan korban ke arah penolong, dan kemudian berikan pukulan keras ke punggung penderita, lalu coba lagi mengambil dengan tangan. Bila masih gagal, lakukan pungsi krikoiroid dan masukkan pipa endotrakhea ukuran 6 mm untuk dewasa. Prosedur ini sebaiknya dilakukan dengan alat dan petugas yang terlatih.
Lambung kembung (gastric distension) :
Keadaan ini dapat terjadi pada pernapasan buatan, sering pada anak; disebabkan karena tekanan terlalu besar atau jalan napas tersumbat. Bahayanya adalah regurgitasi, berkurangnya volume paru karena diafragma meninggi dan kemungkinan ruptur garter.
Untuk mencegah hal ini, miringkan kepala dan badan korban dan kemudian tekan perut di antara pusat dan iga terbawah.
Sirkulasi buatan :
Sering disebut juga dengan Kompresi, Jantung Luar (KJL). Henti jantung (cardiac arrest) ialah terhentinya jantung dan peredaran darah secara tiba-tiba, pada seseorang yang tadinya tidak apa-apa; merupakan keadaan darurat yang paling gawat.
Sebab-sebab henti jantung :
© Afiksi dan hipoksi
© Serangan jantung
© Syok listrik
© Obat-obatan
© Reaksi sensitifitas
© Transfusi darah
© Kateterisasi jantung
© Anestesi.
Untuk mencegah mati biologis ( cerebral death ), pertolongan harus diberikan dalam 3-4 menit setelah hilangnya sirkulasi. Bila terjadi henti jantung yang tidak diduga, maka langkah- langkah ABC dari tunjangan hidup dasar harus segera dilakukan, termasuk pernapasan dan sirkulasi buatan. Henti jantung diketahui dari :
© hilangnya denyut nadi pada arteri besar
© korban tidak sadar
© korban tampak seperti mati
© hilangnya gerakan bernapas atau megap-megap.
Pada henti jantung yang tidak diketahui, penolong pertama-tama membuka jalan napas dengan menarik kepala ke belakang. Bila korban tidak bernapas, segera tiup paru korban 35 kali, lalu raba denyut A. Carotis. Perabaan A. Carotis lebih dianjurkan karena :
1. Penolong sudah berada di daerah kepala korban untuk meakukan pernapasan buatan.
2. Daerah leher biasanya terbuka, tidak perlu melepaskan pakaian korban.
3. Arteri karotis adalah sentral dan kadang-kadang masih berdenyut sekalipun daerah perifer lainnya tidak teraba lagi.
Di rumah sakit dapat juga coba diraba pada A. Femoralis dan daerah prekordial untuk merasakan denyut apikal.
Bila teraba kembali denyut nadi, teruskan ventilasi. Bila denyut nadi hilang atau diragukan, maka ini adalah indikasi untuk memulai sirkulasi buatan dengan KJL. Tekanan dilakukan secara ritmis pada bagian bawah tulang dada, tapi tidak di atas prosesus xidofeus (Gambar 4)
Selama henti jantung, KJL yang dilakukan dengan baik dapat menghasilkan tekanan sistolik sampai 100 mm Hg, tapi diastolik nol, dan tekanan rata-rata di A. Carotis jarang melebihi 40 mm Hg; aliran darah A. Carotis akibat KJL pada penderita henti jantung hanya mencapai sampai dari normal. KJL selalu harus disertai pernapasan buatan
Teknik KJL
Agar KJL efektif, tulang dada bagian bawah harus ditekan minimal 3,5 sampai 5 cm ( pada dewasa ), dan korban harus diletakkan pada alas yang keras dan datar. Bila korban di tempat tidur, gunakan papan sebagai alas; tetapi jangan tertunda karena menunggu alas. Kompresi harus teratur, lancar (smooth) dan tidak terputus-putus. Karena sirkulasi buatan selalu harus disertai dengan pernapasan buatan, maka lebih baik ada 2 orang penolong. Tapi dapat juga dilakukan dengan 1 orang penolong.
Bila ada 2 orang penolong ( Gambar : Salah satu berada di samping korban dan melakukan KJL sedang yang lainnya tetap di arah kepala korban, menarik kepala korban ke belakang dan melakukan pernapasan buatan. KJL untuk 2 orang adalah 60 kali/menit.
Bila dilakukan tanpa terputus cara ini dapat mempertahankan aliran darah dan tekanan darah yang adekuat, menghindari kelelahan si penolong, mudah dihitung yaitu 1 kali/detik, dan diperoleh sirkulasi dan ventilasi optimum dengan menyelipkan I tiupan ke paru korban dalam 5 kali kompresi tanpa berhenti (ratio 5 : I). Apabila korban sudah diintubasi, maka peniupan paru lebih mudah dan jumlah kompresi dapat ditingkatkan sampai 60 kali/menit. Bila hanya ada 1 orang (Gambar 6), penolong harus melakukan pemapasan dan sirkulasi buatan dengan ratio 2 : 15.
Caranya : 2 kali peniupan pare secara cepat, sesudah 15 kompresi jantung.
Karena harus berhenti untuk melakukan peniupan paru maka kecepatan 15 kompresi adalah 80 kompresi/menit ( 1 kali kompresi dalam detik ). Dua kali peniupan paru harus dilakukan dengan cepat, dalam waktu 5 6 detik tanpa harus menunggu ekshalasi penuh.
Bayi dan anak :
Untuk anak kecil hanya dipakai satu tangan, untuk bayi hanya dipakai ujung telunjuk dan jari tengah. Ventrikel bayi dan anak kecil terletak lebih tinggi dalam rongga dada, jadi tekanan hams dilakukan di bagian tengah tulang dada. Bahaya robeknya hati lebih besar pada anak karena dada lebih lunak dan hati terletak lebih tinggi di bawah tulang dada bawah dan xifoid. Tekananpada bayi 1 – 2 cm, pada tulang dada, anak kecil 2 – 4 cm. Jumlah kompresi antara 80 – 100 kali/ menit dengan napas buatan secepat mungkin tiap 5 kali kompresi.
Penarikan kepala bayi dan anak ke belakang akan mengangkat punggungnya. Jadi bilamelakukan kompresi maka punggung si anak hams diganjal dengan tangan, sedang tangan yang lain melakukan kompresi jantung.
Memeriksa efektifitas RJP
Selama melakukan RJP maka reaksi pupil harus diperiksa secara periodik, karena ini adalah petunjuk yang paling baik dari oksigenisasi dan aliran darah yang adekuat terhadap otak. Bila pupil dilatasi tapi masih ada refleks cahaya, maka keadaannya lebih baik. Denyut A. karotis harus diperiksa secara periodik selama RJP untuk mengetahui efektifitas KJL atau kembalinya denyut jantung spontan. Ini harus dilakukan setelah 1 menit RJP dan selanjutnya tiap beberapa menit.
Pukulan prekordial (precardial thump) :
Dapat dilakukan oleh semua orang bila denyut nadi hilang pada orang dewasa, pada keadaan :
1.     Henti jantung yang disaksikan (misalnya sewaktu melakukan Tunjangan Hidup Dasar).
2.     Pasien yang dimonitor (misalnya pasien yang mendapat Tunjangan Hidup Lanjutan di ICU).
3.     Blok atrioventrikular yang diketahui (pada Tun jangan Hidup Lanjutan).
Tidak dianjurkan pada kasus henti jantung yang mungkin sudah mengalami hipoksi atau anoksi, dan pada anak-anak. Dalam melakukan pukulan prekordial, harus diperhatikan :
1.     pukulan harus 1 kali saja, keras, cepat pada bagian tengah tulang dada, dipukul dengan bagian bawah kepalan tangan dari setinggi 20 — 30 cm (Gambar 4).
2.     pukulan dilakukan dalam jangka waktu 1 menit setelah henti jantung.
3.     bila tidak ada respon segera dilakukan Tunjangan Hidup Dasar, pukulan tidak perli diulang.
Teknik pada henti jantung yang disaksikan :
§ tarik kepala korban ke belakang untuk membuka jalan napas sambil meraba a. carotis.
§ bila tidak ada denyut nadi, lakukan pukulan prekordial.
§ bila korban tidak bernapas, berikan inflasi paru 4 kali dengan cepat.
§ bila nadi dan pernapasan tidak pulih, segera lakukan RJP.
Teknik untuk pasien yang dimonitor :
(pada pasien yang tiba-tiba mendapat fibrilasi ventrikel, asistole atau takhikardi ventrikel tanpa denyut nadi).
© berikan 1 kali pukulan prekordia
© cepat periksa alat monitor untuk ritme jantung dan sekaligus raba denyut A. carotis.
© bila temyata ada fibrilasi ventrikel atau takikardi ventrikel disertai hilangnya denyut nadi, lakukan defibrilasi (counter shock)secepat mungkin.
© bila denyut tidak ada, tarik kepala ke belakang dan berikan 4 kali inflasi paru secara cepat dan penuh.
© raba denyut carotis lagi bila tidak ada denyut nadi, mulailah RJP.
Hal-hal yang harus diperhatikan
1) RJP jangan berhenti lebih dari 5 detik dengan alasan apapun kecuali pada keadaan-keadaan :
 kesulitan melakukan intubasi; inipun maksimal 15 detik.
 bila ingin naik/turun tangga, jangan lebih dari 15 detik.
2) Tidak perlu memindahkan penderita ke tempat yang lebih baik, kecuali bila sudah stabil.
3) Jangan menekan prosesus xifoideus pada ujung tulang dada, karena dapat berakibat robeknya hati.
4) Di antara tiap kompresi, tangan harus melepas tekanan tetapi melekat pada sternum, jari-jari jangan menekan iga korban.
5) Hindarkan gerakan yang menyentak. Kompresi harus lembut, teratur dan tidak terputus (50% relaksasi).
6) Perhatikan komplikasi yang mungkin terjadi karena RJP, misalnya : patah tulang dada, terpisahnya iga dan rawan iga, pneumotorik, hematotorak, kontusio paru, robeknya hati, lambung, emboli lemak dan sebagainya.
FASE II : TUNJANGAN HIDUP LANJUTAN
Terdiri atas Tunjangan Hidup Dasar, ditambah langkah- langkah :
D ( drugs ) : Pemberian obat-obatan, dimana termasuk di dalamnya :
 pengobatan definitif, termasuk pemberian obat-obat untuk koreksi asidosis dan memelihara irama jantung dan sirkulasi pemberian cairan intervena.
 penggunaan alat-alat tambahan, misalnya intubasi endotrakheal airway, ventilator, oksigen dan sebagainya.
 stabilisasi kondisi penderita.
( electrocardiograph ) : Diagnosis elektrokardiografis untuk mengetahui adanya fibrilasi ventrikel, asistole atau agonal ventricle complexes, dan monitoring.
F ( fibrillation treatment ) : Tindakan defibrilasi untuk mengatasi fibrilasi ventrikel.
Pemberian obat-obatan umumnya diperlukan untuk penderita yang mendapat RJP. Obat-obatan sebaiknya diberikan intravena agar cepat mencapai sistim kardiovaskular. Pemberian intrakardial hanya terbatas pada epinefrin, pada awal henti jantung sebelum jalan intravena tersedia. Obat-obatan dibagi 2 golongan yaitu :
1.     Penting, yaitu : Sodium bikarbonat, Epinephrine, Sulfat Atropin, Lidokain, Morphin sulfat, Kalsium Khlorida; oksigen juga dianggap obat yang penting.
2.     Berguna (useful) yaitu obat-obat vasoaktif (Levarterenol), Isoproterenol (Metaraminol), Propranolol dan Korticosteroid
Electrocardiographic monitoring :
Harus segera dilakukan pada semua pasien yang mengalami gejala / kemungkinan serangan atau kolaps yang tiba-tiba. Kebanyakan kematian mendadak setelah infark miokard disebabkan karena gangguan listrik, terutama setelah / beberapa jam setelah kerusakan miokard atau iskhemi berat. Pada saat kritis ini pasien harus dimonitor terus menerus.
Walaupun perubahan irama jantung dapat terjadi mendadak, keadaan ini dapat dicegah dengan pengobatan dan early detection.
Petugas harus dapat mengenal paling sedikit disritmia ECG sebagai berikut :
1) Cardiac standstill (asistole ventrikel)
2) Bradikardi (denyut kurang dari 60 kali/menit)
3) Beda antara irama supra ventrtkular dan ventrikular
4) Kontraksi ventrikular prematur (frekuensi. multifokal dan R on T)
5) Takhikardi ventrikular
6) Fibrilasi ventrikel
7) Semua derajat blok atrioventrikular
8) Flutter dan fibrilasi atrium.
Defibrilasi (defibrillation treatment)
Fibrilasi ventrikel terutama terjadi karena insufisiensi koroner, efek samping obat electrocution, hampir tenggelam, kateterisasi jantung pada jantung yang sensitif atau sewaktu usaha resusitasi karena asistole. Pada fibrilasi ventrikel, kerja jantung sulit kembali normal bila tanpa pengobatan defibrilasi. Voltage rendah dapat menim- bulkan fibrilasi, sedangkan voltage tinggi yang sesuai dengan dapat mengakhiri fibrilasi. Cara paling efektif untuk mengakhiri fibrilasi ventrikel adalah electric counter shock; ini dapat dilakukan dengan arus searah ( direct current ) atau arus bolak-balik ( alternating current ). Counter shock dengan arus searah lebih efektif pada jantung yang besar, juga pada pasien yang hipothermi.
Sebelum melakukan counter shock jantung harus teroksigenisasi baik. Tenaga yang dianjurkan untuk direct external counter shock adalah 20 watt sekon atau lebih pada dewasa dan 100 watt sekon pads anak. Defibrilasi dengan arus bolak-balik pada dewasa perlu 500 – 1000 volt dengan 0,1 – 0,25 detik, juga harus dipakai kabel yang heavy duty untuk mencegah penurunan ampere. Dianjurkan pemakaian energi tinggi karena kegagalan pada counter shock yang pertama akan memperlambat mulainya sirkulasi spontan. Pemakaian counter shock energi tinggi dari luar tidak akan mengakibatkan kerusakan jantung atau mengganggu kontraksi spontan
FASE III : TUNJANGAN HIDUP TERUS MENERUS
G ( gauge ) : Pengukuran-pengukuran :
Tindakan selanjutnya ialah melakukan monitoring terus menerus keadaan, terutama yang berhubungan dengan kegawatannya, dan dilakukan pemeriksaan untuk evaluasi dan mencari penyebab keadaan gawat tadi, dan mengobatinya. Monitoring dilakukan terutama untuk menilai fungsi-fungsi pernapasan, peredaran darah dan susunan saraf.
H ( Head ) : Resusitasi otak :
Tindakan selanjutnya merupakan resusitasi untuk menyelamatkan otak dan sistim saraf akibat cardiac arrest dari kerusakan-kerusakan lebih lanjut, sehingga tercegah kelainan neurologik yang permanen.
H ( hypothermia )
H ( humanization )
Harus diingat bahwa korban yang ditolong adalah manusia, yang mempunyai perasaan sedih, takut, kesepian, marah dan sebagainya. Oleh karena itu semua tindakan, seperti lazimnya tindakan medik, hendaknya didasarkan perikemanusiaan.
( intensive care ) :
Dapat dilakukan di ICU ( General ICU ) yang dapat dibagi menjadi ICU dewasa dan ICU anak, atau dalam Special Care Unit, seperti ICCU, Burn Unit, Neonatal Unit, Renal unit dan sebagainya.
AWAL DAN PENGAKHIRAN RJP
Resusitasi dilakukan pada infark jantung yang memberikan electric death, hipoksia akut, keracunan dan kelebihan obat-obatan, electrocution, vagal reflex, tenggelam dan kecelakaan lain yang kemungkinan hidup lebih lama. Pada acute respiration distress reoksigenasi harus segera dimulai. Bila henti jantung telah berlangsung lebih dari 10 menit, mungkin resusitasi tidak bisa memulihkan penderita ke status SSP sebelum henti jantung; bila ragu saat terjadinya henti jantung, segera saja lakukan RJP. Tidak perlu resusitasi pada stadium terminal suatu penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Keputusan untuk memulai dan mengakhiri usaha resusitasi adalah masalah medis, tergantung pada pertimbangan penafsiran status serebral dan kardiovaskular penderita.
Kriteria terbaik adanya sirkulasi serebral dan adekuat adalah reaksi pupil, tingkat kesadaran, gerakan dan pernapasan spontan dan refleks. Keadaan tidak sadar yang dalam tanpa pernapasan spontan dan pupil tetap dilatasi 15 – 30 menit, biasanya menandakan kematian serebral dan usaha-usaha resusitasi selanjutnya biasanya sia-sia. Kematian jantung sangat mungkin terjadi bila tidak ada aktivitas elektrokardiografi ventrikuler secara berturut-turut selama 10menit atau lebih sesudah RJP yang tepat, termasuk terapi obat Pada anak atau pada keadaan istimewa, resusitasi harus dilanjutkan lebih lama.
Tanda prognostik yang baik ialah cepat kembalinya refleks mata dan traktus respiratorius bagian atas. Bila sirkulasi telah spontan dan tekanan darah lebih dari 60 mmHg, kompresi jantung dapat dihentikan; ulangi KJL bila perlu.
Kemajuan-kemajuan di bidang resusitasi telah memberi berbagai definisi kematian :
1) Mati Klinis :
hilangnya peredaran darah dan gerakan pernapasan disertai hentinya aktivitas korteks serebri, tapi bersifat sementara dan reversibel.
2) Mati biologic :
peredaran darah dan pernapasan dapat dipertahankan secara spontan atau buatan, tetapi kegiatan korteks serebri tidak dapat dikembalikan dan bersifat irriversibel.
3) Mati sosial :
peredaran darah dan pernapasan dapat dipertahankan secara spontan / buatan, aktivitas korteks serebri masih ada tapi abnormal, kesadaran penderita menurun/koma, dalam keadaan vegetatif yang tidak mungkin dikembalikan.
Diagnosa kematian otak yang pasti tidak dapat dibuat selama kompresi dada luar. Sebagai pegangan keberhasilan resusitasi sangat kecil apabila resusitasi tersebut telah dilakukan selama 60 menit.
* Tidak timbul aktifitas listrik spontan atau
* Hanya ada aktifitas listrik dengan kompleks ventrikular yang diperpanjang atau cacat.
* Adanya suatu fibrilasi ventrikel kasar yang terus menerus dengan hilangnya amplitudo yang berturut-turut.
Dengan pembatasan tertentu, kematian jantung yang pasti dapat diterima pada kasus ini.
Dalam keadaan darurat, resusitasi dapat diakhiri bila ada salah satu dari berikut ini :
1. Telah timbul kembali sirkulasi dan ventilasi spontan yang efektif.
2. Upaya resusitasi telah diambil alih oleh orang lain yang bertanggungjawab meneruskan resusitasi (bila tidak ada dokter).
3. Seorang dokter mengambil alih tanggungjawab (bila tidak ada dokter sebelumnya).
4. Penolong terlalu capai sehingga tidak sanggup meneruskan resusitasi.
5. Pasien dinyatakan mati.
6. Setelah dimulai resusitasi, ternyata kemudian diketahui bahwa pasien berada dalam stadium terminal suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan atau hampir dapat dipastikan bahwa fungsi serebral tidak akan pulih (yaitu sesudah ½ – 1 jam terbukti tidak ada nadi pada normotermia tanpa RJP).
KESIMPULAN
Bagian anestesi suatu rumah sakit atau fakultas kedokteran yang mendidik calon ahli anesthesiologi dapat dipakai sebagai pusat pendidikan resusitasi bagi para dokter dan paramedik. Tenaga medik dapat efektif melakukan resusitasi bila telah berpartisipasi dalam suatu kursus yang mencakup praktek pada manikin dan terlatih dalam pemeliharaan jalan napas dan ventilasi buatan pada pasien-pasien yang dibius di bawah supervise ahli anesthesiologi. Kota-kota besar memerlukan adanya emergency unit dengan jaringan yang luas, yang dapat mengambil tindakan lebih awal dalam resusitasi dan usaha-usaha menolong kehidupan di tempat kejadian, selama transportasi dan di rumah sakit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar