Sabtu, 20 Oktober 2012

Henti Jantung



A. Gambaran Umum.
1. Henti jantung adalah keadaan klinis di mana curah jantung secara efektif adalah nol. Meskipun biasanya berhubungan dengan fibrilasi ventrikel, asistole atau disosiasi elektromagnetik (DEM), dapat juga disebabkan oleh disritmia yang lain yang kadang-kadang menghasilkan curah jantung yang sama sekali tidak efektif. Ini meliputi bradikardi yang hebat dan takikardi ventrikuler.

2. Untuk sebagian besar henti jantung, rencana evaluasi dan pengobatan harus mengikuti prinsip-prinsip dan detail-detail yang dipaparkan pada bagian ini. Namun, pada kasus-kasus yang khusus, obat-obatan atau prosedur operasi spesifik merupakan penyelamat hidup, jika diberikan atau dilaksanakan dengan segera. Ini berarti bahwa setiap kasus henti jantung harus dievaluasi terhadap penyebab-penyebab yang relatifjarang tetapi secara terapeutik dapat dipertanggungjawabkan. Ini meliputi hal-hal di bawah ini:
a. Overdosis dan opiat atau propoksifen (Darvon) perlu diberikan nalokson 0,8 mg secara IV.
b. Overdosis dan antidepresan trisiklik memberikan gambaran sebagai takidisritmia yang non perfusi, perlu diberikan fisostigmin 2 mg secara IV.
c. Emboli paru yang masif perlu diberikan heparin 5000 unit secara IV, segera dan pertimbangkan selanjutnya untuk embolektomi.
d. Tamponade perikard perlu dilakukan perikardiotomi terbuka atau dengan jarum.
e. Pneumothorax tension perlu segera dilakukan dekompresi dengan jarum dan insersi tabung pada dada.
f. Hipotermia perlu diberikan penghangatan kembali.

3. Setiap tim resusitasi henti jantung harus mempunyai satu orang yang berperan sebagai pimpinan. Agar pasien mendapat penanganan sebaik-baiknya, klinikus ini harus memberikan semua medikasi dan prosedur, dan menerima semua informasi laboratorium untuk mengambil keputusan klinis.

4. Setiap resusitasi henti jantung merupakan suatu rangkaian kejadian yang kompleks, banyak tindakan yang harus dilakukan secara simultan. Secara keseluruhan setiap aspek harus diteliti dengan cermat untuk meyakini bahwa resusitasi sedan dilaksanakan dengan se-. efektif mungkin. Khusus untuk hal-hal di bawah ini harus dilakukan:
a. Evaluasi yang sering terhadap membran mukosa dan ekstremitas, auskultasi paru, dan kadang-kadang rontgen dada apabila ada indikasi, untuk mengecek ventilasi dan oksigenasi.
b. Perhatikan teknik kompresi jantung dan adanya denyutan femoral yang teraba yang ditransmisikan oleh kompresi jantung tersebut.
c. Pengukuran gas darah arteri untuk mengidentifikasi adanya hi-poksemia, hiperkarbia, asidosis atau alkalosis.
d. Ulangi evaluasi terhadap riwayat klinis dan pemeriksaan fisik untuk mengidentifikasi penyebab dasarnya sehingga dapat dilakukan terapi spesifik.

5. Pada sebagian besar keadaan tindakan kompresi jantung tertutup adalah efektif. Kadang-kadang berhubung dengan penyebab spesifik atau apabila teknik resusitasi kardiopulmonar sudah adekuat tetapi tidak ada denyutan femoral atau karotis yang teraba, torakotomi darurat dan masase internal jantung harus dipertimbangkan. Situasi ini biasanya paling sering timbul pada kasus-kasus di bawah ini:

a. Henti jantung traumatik sekunder akibat dari:
(1) Luka tembus jantung.
(2) Tamponade jantung yang tidak responsif terhadap tindakan perikardiosentesis.
(3) Trauma hebat yang masif pada daerah toraks.
(4) Trauma tumpul pada dada dengan kecurigaan adanya ruptur dari atrium, ventrikel atau aorta.

b. Hipotermia hebat dengan fibrilasi ventrikel. (denyutan dapat dirasakan dengan RJP) dan tidak ada by pass kardiopulmonar, yakni diperlukan adanya penghangatan kembali secara langsung terhadap jantung.

c. Perdarahan masif yang tidak responsif terhadap terapi pengganti cairan dan darah, yakni jepitan silang terhadap aorta desendens.

d. Bentuk-bentuk abnormal yang menghalangi efektifitas tindakan masase dada eksternal:
(1) Pasien emfisematous dengan dada berbentuk tabung (barrel chest).
(2) Pektus karinatum yang hebat.
(3) Kifoskoliosis yang hebat.

e. Syok elektrik dengan fibrilasi ventrikel yang refrakter. Denyutan sering didapat dengan RJP.

6. Keputusan untuk menghentikan tindakan resusitasi henti jantung terletak pada ketua tim penolong dan dokter yang merawat si pasien (jika dokter yang merawat ada). Meskipun setiap keputusan adalah individual, di dalam literatur kedokteran terdapat banyak sekali bukti-bukti yang menyatakan bahwa pada keadaan-keadaan di bawah ini terdapat indikasi kuat untuk menghentikan resusitasi, dikarenakan probabilitas yang sangat kecil untuk berhasilnya tindakan tersebut.
a. Indikasi.
(1) Tidak terabanya denyut nadi dan apnea selama lebih dari 10 menit sebelum dimulainya tindakan RJP.
(2) Tidak terdapat respons klinis sesudah lebih dari 30 menit “advanced cardiac life support” (ACLS), termasuk di sini yang dilakukan di luar rumah sakit.
(3) Tidak terdapat aktivitas ventrikel pada EKG, yakni asistole yang persisten sesudah lebih dari 10 menit tindakan ACLS.
(4) Sebelumnya terdapat penyakit dengan stadium terminal seperti kanker stadium terminal dan penyakit jantung stadium terminal.

b. Pengecualian.—Keadaan hampir tenggelam, hipotermia dengan berbagai sebab dan trauma dengan perdarahan, terutama pada orang- orang muda. Pada keadaan-keadaan demikian, tindakan resusitasi harus dilakukan secara agresif dan terapi spesifik seperti disebutkan sebelumnya harus dimulai secepatnya.

B. Evaluasi dan pengobatan.
1. Konfirmasikan keadaan yang tidak responsif. Pada keadaan trauma, kurangi seminim mungkin risiko cedera vertebra servikal. Mintalah bantuan!

2. Pertahankan jalan napas dengan memakai manuver kepala tengadah –dagu diangkat, karena korban dengan henti jantung mungkin terjatuh dan menderita cedera leher. Apabila teknik kepala tengadahdagu diangkat tidak berhasil, gunakan tehnik mendorong dagu atau manuver kepala tengadah –leher diangkat untuk mempertahankan jalan napas yang adekuat (Gambar 3-1 sampai 3-4). Periksalah mulut dengan cepat, bersihkan setiap makanan yang ada, muntahan atau gigi palsu.

3. Usahakan pemberian 2 kali pernapasan buatan secara cepat dan pastikan bahwa dadanya bergerak dengan tepat; jika tidak terjadi gerakan, lakukan manuver untuk menghilangkan obstruksi jalan napas.
a. Sekali lagi, periksa mulut pasien untuk melihat adanya benda asing dan gigi palsu yang longgar dengan cara menyapu menggunakan jari tangan.

b. Pemeriksaan secara langsung daerah faring dan laring dapat menemukan adanya benda asing yang dapat di rai h dengan forsep McGill.

c. Berikan 4 dorongan pada abdomen dengan berlutut di samping paha korban atau duduk mengangkanginya dan lakukan dorongan yang terpusat pada daerah epigastrium untuk wanita yang gemuk atau korban yang hamil, berikan 4 dorongan pada dada dengan meletakkan satu telapak tangan pada masing-masing sisi dari bagian bawah dada anterior dan lakukan dorongan ke posterior. Periksa mulut dan usaha ventilasi sebagai bukti adanya perbaikan obstruksi jalan napas. Ulangi beberapa kali sebanyak yang dibutuhkan. Jika tidak ada perbaikan ulangi seperti di atas sampai obstruksinya dapat diatasi.

d. Apabila tidak berhasil lakukan di bawah ini: Balikkan si korban ke arah anda dan berikan 4 backslaps di antara kedua bahu.
Periksalah mulut dengan cara menyapu menggunakan jari dan usahakan ventilasi.

e. Terakhir kali, kalau semua usaha gagal krikotirotomi harus dilaksanakan. Prosedur ini jauh lebih efektif dan aman dibandingkan dengan trakeostomi pada keadaan ini. Trakeostomi dapat dilakukan sesudahnya sebagai tindakan elektif, apabila diperlukan lobang trakea yang lebih permanen. .

f. Mulai RJP dan saat anggota tim tiba, delegasikan tanggung jawab untuk penatalaksanaan jalan napas, intepretasi EKG dan pemberian obat-obatan.

g. Pertahankan kontrol jalan napas sbb:
(1) Teruskan pernapasan mulut ke mulut atau mulut ke masker ventilasi sampai tersedianya kantong masker yang baik.

(2) Intubasi trakea tidak diperlukan dengan segera, karena pada sebagian besar keadaan, kantong masker ventilasi yang ber
katup sudah adekuat untuk memperbaiki oksigenasi. Intubasi trakea dapat dilakukan hanya apabila terdapat orang yang ahli mengenainya. Setiap usaha harus dibatasi sampai 30 detik, dan usaha yang gagal harus dilanjutkan segera dengan kantong ventilasi masker berkatup untuk mengurangi hipoksia. Panjang tabung harus diperhatikan untuk menghindari intubasi bronkus utama kanan. Tabung endotrakeal harus diimobilisasi dengan aman memakai plester perekat.

(3) Pada pasien-pasien dengan trauma, penanganan harus sebaik mungkin untuk mengurangi risiko terjadinya trauma pada vertebra servikalis, pada waktu intubasi dilakukan. Traksi servikal in line dibutuhkan.

h. Pasanglah infus, bersamaan itu lakukan intepretasi EKG, sebab defibrilasi yang cepat merupakan tindakan yang menyelamatkan jiwa (Iihat selanjutnya). Infus dengan mempergunakan jarum yang besar harus dipasang seawal mungkin dan jika memungkinkan alat pemantau tekanan harus dimasukkan sampai ke sirkulasi sentral. Vena-vena ekstremitas termasuk vena femoralis harus dicoba. Vena subklavia dan vena jugularis eksterna
atau interim harus dicoba untuk dimasukkan dengan alat pemantau tekanan sesudah jalan napas aman atau jika sirkulasi belum terkoreksi sesudah pemberian obat-obatan melalui vena perifer. Pada stadium ini suatu alat pemantau tekanan melalui salah satu rute-rute ini dapat memberikan informasi yang berguna untuk tetapi selanjutnya. Injeksi intrakranial harus dihindari, karena risiko terjadinya laserasi A. Coronaria dan kecenderungan terjadinya disritmia yang sulit diatasi sebagai akibat dari tindakan yang kurang hati-hati menyuntikkan obat secara Iangsung ke dalam miokardium. Instalasi obat-obatan ke dalam trakea melalui tabung endotrakeal merupakan alternatif yang efektif, apabi la keadaan tidak memungkinkan untuk memasang rute intravena secara cepat. Obat-obatan harus dengan volume antara 5-10 ml dan dosis awal dari epinefrin, lidokain, dan atropin adalah mirip dengan dosis yang diberikan secara IV, tetapi dosis selanjutnya harus ditakar lebih rendah. Obat-obatan ini harus disuntikkan ke dalam tabung endotrakeal dengan mempergunakan kateter CVP atau jarum panjang, diikuti dengan pemberian besar-besaran. Akhir-akhir ini tidak ada bukti tentang kemanjuran dari obat henti jantung yang lain yang diberikan melalui rute endotrakeal. Area sublingual, jaringan yang sangat vaskular, harus dipertimbangkan sebagai tempat pemberian obat-obatan ini. Dosis IV harus digunakan. Pemberian Natrium bikarbonat harus dipertimbangkan hanya sesudah terapi obat spesifik pada permulaan telah diberikan tanpa perbaikan dari sirkulasi. Dosis permulaan adalah 1 mg/kg. Dosis selanjutnya didasarkan atas hasil analisa gas darah arterial. Apabila hasil analisa ini tidak dapat diperoleh, natrium bikarbonat dapat diberikan setiap 10-15 menit dengan dosis setengah dari dosis awal.

i. Tentukan irama EKG dengan menggunakan penilai cepat pada alat defibrilator jika tersedia atau pengamat EKG standar. Pengobatan tergantung irama dari jantung.

(1) Fibrilasi ventrikel (FV).

a. Berikan energi sebanyak 200 joule dengan segera. Jika tidak berhasil, berikan kejutan kedua sebanyak 200-300 J dengan segera, dan jika perlu berikan ketiga kalinya sampai 360 J. Berikan 0,5-1 mg epinefrin secara IV jika tindakan defibrilasi tidak berhasil. Pada henti jantung yang tidak terawasi pertimbangkan dahulu natrium bikarbonat. Sesudah pemberian epinefrin dan bikarbonat ulangi tindakan defibrilasi. Pemberian natrium bikarbonat tambahan harus didasarkan atas hasil analisa gas darah arterial. Pada kasus henti jantung di luar Rumah sakit, berikan setengah dari dosis awal setiap 10-15 menit. Epinefrin dapat diulang setiap 5 menit atau dapat lebih sering.

b. Jika fibrilasi ventrikel dapat diatasi, lakukan reevaluasi pasien secara hati-hati untuk mencari hipoksia yang belum diketahui yang berhubungan dengan pneumotoraks, peletakkan tabung endotrakeal yang tidak benar atau hipovolemi, dan lakukan koreksi ketidakseimbangan asam basa. Jika tidak berhasil, cobalah obat-obatan ini dan lakukan tindakan defibrilasi sesudah setiap obat ini diberikan:
(i) Lidokain I mg/kg berat badan secara IV bolus dan ulangi tindakan defibrilasi. Jika tidak berhasil, ulangi bolus dan pertahankan infus rumatan pada dosis 1-4 mg/menit.
(ii) Bretilium, 5 mg/kg secara IV bolus, dan ulangi tindakan defbrilasi.
(iii) Prokainamid 100 mg secara IV bolus selama I menit, 200 mg selama 5 menit sampai tercapai suatu loading dose sebesar 1 gram, dan ulangi tindakan defibrilasi.
(iv) Propanolol 1-5mg dengan dosis 1 mg/menit secara IV dan ulangi tindakan defibrilasi.
(v) Atropin 1 mg secara IV, ulangi tindakan defibrilasi.

(2) Asistole ventrikel (AV).

a. Konfirmasikan pada 2 lead EKG. Jika meragukan obati sebagai FV.
b. Berikan epinefrin 0,5-1 mg secara IV bolus. Jika rute IV perifer tidak tersedia gunakan rute sublingual IV atau berikan kedalam trakea dan berikan ventilasi secara besar-besaran. Apabila tersedia aktifkan alat pacu jantung per kutaneus. Jika tidak efektif, lakukan di bawah ini.
c. Berikan Atropin 1-2 mg secara IV bolus.
d. Pertimbangkan pemberian natrium bikarbonat 1 mEq/kg, terutama jika henti jantung itu tidak terawasi atau kejadian berlarut-larut.
e. Sangat jarang suatu alat pacu jantung transvena dapat merestorasi ke suatu irama efektif.

(3) EMD.

a Dicirikan dengan suatu kompleks EKG yang terorganisir dengan tanpa adanya bukti-bukti aksi pemompaan mekanis, yakni untuk mengesampingkan tamponade perikardial, tension pneumotoraks, hipovolemia, asidosis yang berat dan emboli paru.
b Berikan epinefrin 0,5-1 mg secara IV.
c Pertimbangkan natrium bikarbonat 1 mEq/kg.
d Jika EKG memperlihatkan irama idioventrikuler di mana tidak terdapat gelombang P dan terdapat QRS yang lebar dan aneh, pertimbangkan pemberian atropin 1 mg secara IV.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar