Henti jantung dan henti napas bukanlah kejadian yang sering terjadi walapun
di rumah sakit. Tidak
semua penderita yang mengalami cardic
arrest diresusitasi, melainkan hanya yang mungkin
untuk hidup lama tanpa meninggalkan kelainan-kelainan di otak. Jadi resusitasi
ialah usaha mengembalikan fungsi pernafasan dan/atau sirkulasi dan penanganan
akibat henti nafas (respiratory
arrest) dan/atau henti jantung (cardiac arrest) pada orang, di
mana fungsi tersebut gagal total oleh suatu sebab yang memungkinkan untuk hidup
normal selanjutnya bila kedua fungsi tersebut bekerja kembali. Jadi bukan pada
akhir suatu stadium agonal, di mana karena memburuknya keadaan umum dan kondisi
organ semakin buruk dan akhirnya gagal total; atau pada orang yang pusat
diotaknya sudah mengalami kerusakan karena sebab-sebab per nafasan / sirkulasi
sehingga tidak ada lagi kemungkinan untuk hidup.
Keberhasilan resusitasi dimungkinkan oleh adanya waktu tertentu diantara
mati klinis dan mati biologis. Mati klinis terjadi bila dua fungsi penting
yaitu pernafasan dan sirkulasi mengalami kegagalan total. Jika keadaan ini
tidak cepat ditolong, maka akan terjadi mati biologis yang irreversibel.
Setelah tiga menit mati klinis ( jadi tanpa oksigenisasi ), resusitasi dapat
menyembuhkan 75% kasus klinis tanpa gejala sisa. Setelah empat menit persentase
menjadi 50% dan setelah lima menit 25%. Maka jelaslah waktu yang sedikit itu
harus dapat dimanfaatkan sebaik mungkin.
Di samping mati klinis dan biologis dikenal juga istilah mati sosial yaitu
keadaan di mana pernafasan dan sirkulasi terjadi spontan atau secara buatan,
namun telah mengalami aktifitas kortikal yang abnormal ( perubahan EEG ),
penderita dalam keadaan sopor atau koma tanpa kemungkinan untuk sembuh; jadi
dalam keadaan vegetatif. Agar suatu resusitasi berhasil maksimal tentu saja
memerlukan operator yang cekatan dan trampil.
Waktu satu menit, sangat berguna dan lebih baik memberikan resusitasi pada
orang yang “sedang meninggal” daripada yang “telah meninggal”
FASE-FASE RESUSITASI KARDIO PULMONER
RJP dibagi terutama untuk memudahkan latihan dan mengingat, dalam fase dan
langkah sebagai berikut :
FASE I : Tunjangan hidup
dasar (Basic Life Support) yaitu prosedur
pertolongan darurat
mengatasi obstruksi jalan nafas, henti nafas dan henti jantung, dan bagaimana
melakukan RJP secara benar.
Terdiri dari :
♪ A (airway) : menjaga jalan
nafas tetap terbuka.
♪ B (breathing) : ventilasi paru
dan oksigenisasi yang adekuat.
♪ C (circulation) : mengadakan sirkulasi buatan dengan
kompresi jantung paru (KJP)
FASE II : Tunjangan hidup lanjutan (Advance Life Support);
yaitu tunjangan hidup dasar ditambah
dengan :
♪ D ( drugs ) : pemberian
obat-obatan termasuk cairan.
♪ E ( EKG ) : diagnosis elektrokardiografis
secepat mungkin setelah dimulai KJP, untuk mengetahui apakah ada fibrilasi ventrikel, asistole atau agonal
ventricular complexes.
♪ F ( fibrillation treatment ) : tindakan untuk
mengatasi fibrilasi ventrikel.
FASE III :
Tunjangan hid up terus-menerus (Prolonged Life Support).
♪ G (Gauge) : Pengukuran dan pemeriksaan untuk
monitoring penderita secara terus menerus, dinilai, dicari penyebabnya dan kemudian mengobatinya.
♪ H (Head) : Tindakan resusitasi untuk
menyelamatkan otak dan sistim saraf darikerusakan lebih lanjut akibat
terjadinya henti jantung, sehingga dapat dicegah terjadinya kelainan neurologik
yang permanen.
♪ H (Hipotermi) : Segera dilakukan
bila tidak ada perbaikan fungsi susunan saraf pusat yaitu pada suhu antara 30° - 32°C.
♪ H (Humanization) : Harus diingat
bahwa korban yang ditolong adalah manusia yang mempunyai perasaan, karena itu
semua tindakan hendaknya berdasarkan perikemanusiaan.
♪ I (Intensive care) : Perawatan
intensif di ICU, yaitu : tunjangan ventilasi : trakheostomi, pernafasan
dikontrol terus menerus, sonde lambung, pengukuran pH, pCO2 bila diperlukan,
dan tunjangan sirkulasi, mengendalikan kejang.
FASE I : TUNJANGAN HIDUP DASAR
Adalah prosedur pertolongan darurat, termasuk di dalamnya pengenalan henti
jantung (cardiac arrest) dan henti napas (respiratory
arrest) dan bagaimana melakukan RJP yang tepat
untuk menyelamatkan nyawa sampai korban dapat dibawa atau tunjangan hidup
lanjutan sudah tersedia. Di sini termasuk langkah-langkah ABC dari RJP :
© A (Airway) : Jalan nafas
terbuka.
© B (Breathing : Pernapasan,
pernapasan buatan RJP.
© C (Circulation)
: Sirkulasi, sirkulasi buatan.
Indikasi
tunjangan hidup dasar terjadi karena :
1.
Henti napas.
2.
Henti jantung, yang dapat terjadi
karena :
© Kolaps
kardiovaskular
© Fibrilasi
ventrikel atau
© Asistole
ventrikel.
Pernapasan buatan
Membuka jalan napas dan pemulihan pernapasan adalah dasar pemapasan buatan.
Cara mengetahui
adanya sumbatan jalan napas dan apne :
© Lihat gerakan
dada dan perut
© dengar dan
rasakan aliran udara melalui mulut atau hidung.
Pada sumbatan total dengan pernapasan spontan, tidak terasa / terdengar
aliran udara melalui mulut / hidung dan ada kesukaran bernapas dan berlebihan,
hingga menggunakan otot pernapasan tambahan, adanya retraksi interkostal,
supraklavikula dan ruang suprastemal. Pada sumbatan sebagian dengan pernapasan
spontan/buatan, ada bunyi aliran udara, misalnya : snoring ( karena sumbatan
pada jaringan lunak hipofaring ), crowing ( karena laringospasme ), gurgling (
karena benda asing ) atau wheezing ( karena obstruksi bronchial ).
Kegagalan pernapasan ( apnea ) ditandai dengan kurang atau hilangnya usaha
bernapas, tidak adanya gerakan dada atau perut bagian atas, dan tidak adanya
aliran udara melalui hidung atau mulut.
Jalan napas (airway) :
Berhasilnya resusitasi tergantung dari cepatnya pembukaan jalan napas.
Caranya ialah segera menekuk kepala korban ke belakang sejauh mungkin, posisi
terlentang kadang-kadang sudah cukup menolong karena sumbatan anatomis akibat
lidah jatuh ke belakang dapat dihilangkan. Kepala harus dipertahankan dalam
posisi ini.
Bila tindakan ini tidak menolong, maka rahang bawah ditarik ke depan. Caranya:
© Tarik mendibula
ke depan dengan ibu jari sambil
© Mendorong kepala
ke belakang dan kemudian,
© Buka rahang
bawah untuk memudahkan bernapas melalui mulut atau hidung.
Penarikan rahang bawah paling baik dilakukan bila penolong berada pada bagian puncak
kepala korban. Bila korban tidak mau bernapas spontan, penolong harus pindah ke
samping korban untuk segera melakukan pernapasan buatan mulut ke mulut atau
mulut ke hidung.
Pernapasan (breathing)
Dalam melakukan pernapasan mulut ke mulut penolong menggunakan satu tangan
di belakang leher korban sebagai ganjalan agar kepala tetap tertarik ke
belakang, tangan yang lain menutup hidung korban ( dengan ibu jari dan telunjuk
) sambil turut menekan dahi korban ke belakang. Penolong menghirup napas dalam
kemudian meniupkan udara ke dalam mulut korban dengan kuat. Ekspirasi korban
adalah secara pasif, sambil diperhatikan gerakan dada waktu mengecil. Siklus
ini diulang satu kali tiap lima detik selama pemapasan masih belum adekuat.
Pernapasan yang adekuat dinilai tiap kali tiupan oleh penolong, yaitu
diperhatikan :
© gerakan dada
waktu membesar dan mengecil
© merasakan
tahanan waktu meniup dan isi paru korban waktu mengembang
© dengan suara dan
rasakan udara yang keluar waktu ekspirasi.
Tiupan pertama ialah 4 kali tiupan cepat, penuh, tanpa menunggu paru korban mengecil sampai
batas habis. Teknik mulut hidung kadang-kadang lebih efektif terutama bila
mulut korban sukar dibuka, atau luka berat di mulut. Caranya sama dengan mulut
ke mulut hanya tiupan dilakukan melalui hidung sedangkan mulut korban ditutup.
Sebaliknya, pada tiupan ke hidung, mulut korban dibuka sewaktu ekspirasi karena
langit-langit mulut ( soft palate ) dapat mengakibatkan sumbatan di daerah
nasofaring; tiupan diulang satu kali tiap lima detik.
Pada penderita yang mendapat laringektomi maka tiupan dapat langsung ke
lubang. Di sini tidak perlu penarikan kepala ataupun penarikan rahang bawah,
yang perlu adalah menutup mulut dan hidung penderita waktu meniup agar udara
tidak keluar.
Anak dan bayi :
Di sini mulut penolong dapat menutup seluruh mulut dan hidung anak dan
volume udara yang ditiup lebih kecil. Tiupan untuk anak lebih lembut, pada hayi
cukup meniup dengan pipi. Tiupan diulang satu kali tiap tiga detik. Hati-hati
waktu menarik kepala bayi ke belakang karena lehemya masih lunak hingga malah
dapat menyumbat jalan napas. Bila ada kecurigaan patah tulang leher, pembukaan
jalan napas hanya dengan menarik rahang bawah ke depan.
Benda asing (foreign bodies) :
Penolong tidak perlu mencari benda asing di jalan napas; usaha pertama
waktu meniup paru akan menunjukkan adanya sumbatan jalan napas; di sini jalan
napas harus segera dibersihkan. Caranya : Korban dimiringkan, pundak ditopang
oleh lutut penolong. Mulut korban dibuka paksa dengan teknik jempol telunjuk
disilangkan. Kemudian masukkan telunjuk / dengan jari tengah mulai dari pipi ke
arah dasar lidah sampai tenggorokan, dengan gerakan menyapu. Ulangi beberapa
kali sampai bersih. Bila perlu bantu laringoskop. Bila belum berhasil, atau
terjepit di belakang epiglottis, maka segeralah balikkan korban ke arah
penolong, dan kemudian berikan pukulan keras ke punggung penderita, lalu coba
lagi mengambil dengan tangan. Bila masih gagal, lakukan pungsi krikoiroid dan
masukkan pipa endotrakhea ukuran 6 mm untuk dewasa. Prosedur ini sebaiknya
dilakukan dengan alat dan petugas yang terlatih.
Lambung kembung (gastric distension) :
Keadaan ini dapat terjadi pada pernapasan buatan, sering pada anak;
disebabkan karena tekanan terlalu besar atau jalan napas tersumbat. Bahayanya
adalah regurgitasi, berkurangnya volume paru karena diafragma meninggi dan
kemungkinan ruptur garter.
Untuk mencegah hal ini, miringkan kepala dan badan korban dan kemudian
tekan perut di antara pusat dan iga terbawah.
Sirkulasi buatan :
Sering disebut juga dengan Kompresi, Jantung Luar (KJL). Henti jantung
(cardiac arrest) ialah terhentinya jantung dan peredaran darah secara
tiba-tiba, pada seseorang yang tadinya tidak apa-apa; merupakan keadaan darurat
yang paling gawat.
Sebab-sebab
henti jantung :
© Afiksi dan
hipoksi
© Serangan jantung
© Syok listrik
© Obat-obatan
© Reaksi
sensitifitas
© Transfusi darah
© Kateterisasi
jantung
© Anestesi.
Untuk mencegah mati biologis ( cerebral death ), pertolongan harus
diberikan dalam 3-4 menit setelah hilangnya sirkulasi. Bila terjadi henti
jantung yang tidak diduga, maka langkah- langkah ABC dari tunjangan hidup dasar
harus segera dilakukan, termasuk pernapasan dan sirkulasi buatan. Henti jantung
diketahui dari :
© hilangnya denyut
nadi pada arteri besar
© korban tidak
sadar
© korban tampak
seperti mati
© hilangnya
gerakan bernapas atau megap-megap.
Pada henti jantung yang tidak diketahui, penolong pertama-tama membuka
jalan napas dengan menarik kepala ke belakang. Bila korban tidak bernapas,
segera tiup paru korban 35 kali, lalu raba denyut A. Carotis. Perabaan A.
Carotis lebih dianjurkan karena :
1. Penolong sudah
berada di daerah kepala korban untuk meakukan pernapasan buatan.
2. Daerah leher
biasanya terbuka, tidak perlu melepaskan pakaian korban.
3. Arteri karotis
adalah sentral dan kadang-kadang masih berdenyut sekalipun daerah perifer
lainnya tidak teraba lagi.
Di rumah sakit dapat juga coba diraba pada A. Femoralis dan daerah
prekordial untuk merasakan denyut apikal.
Bila teraba
kembali denyut nadi, teruskan ventilasi. Bila denyut nadi hilang atau
diragukan, maka ini adalah indikasi untuk memulai sirkulasi buatan dengan KJL.
Tekanan dilakukan secara ritmis pada bagian bawah tulang dada, tapi tidak di
atas prosesus xidofeus (Gambar 4)
Selama henti
jantung, KJL yang dilakukan dengan baik dapat menghasilkan tekanan sistolik
sampai 100 mm Hg, tapi diastolik nol, dan tekanan rata-rata di A. Carotis
jarang melebihi 40 mm Hg; aliran darah A. Carotis akibat KJL pada penderita
henti jantung hanya mencapai sampai dari normal. KJL selalu harus disertai
pernapasan buatan
Teknik KJL
Agar KJL efektif, tulang dada bagian bawah harus ditekan minimal 3,5 sampai
5 cm ( pada dewasa ), dan korban harus diletakkan pada alas yang keras dan
datar. Bila korban di tempat tidur, gunakan papan sebagai alas; tetapi jangan
tertunda karena menunggu alas. Kompresi harus teratur, lancar (smooth) dan
tidak terputus-putus. Karena sirkulasi buatan selalu harus disertai dengan
pernapasan buatan, maka lebih baik ada 2 orang penolong. Tapi dapat juga
dilakukan dengan 1 orang penolong.
Bila ada 2 orang penolong ( Gambar : Salah satu berada di samping korban
dan melakukan KJL sedang yang lainnya tetap di arah kepala korban, menarik
kepala korban ke belakang dan melakukan pernapasan buatan. KJL untuk 2 orang
adalah 60 kali/menit.
Bila dilakukan tanpa terputus cara ini dapat mempertahankan aliran darah
dan tekanan darah yang adekuat, menghindari kelelahan si penolong, mudah
dihitung yaitu 1 kali/detik, dan diperoleh sirkulasi dan ventilasi optimum
dengan menyelipkan I tiupan ke paru korban dalam 5 kali kompresi tanpa berhenti
(ratio 5 : I). Apabila korban sudah diintubasi, maka peniupan paru lebih mudah
dan jumlah kompresi dapat ditingkatkan sampai 60 kali/menit. Bila hanya ada 1
orang (Gambar 6), penolong harus melakukan pemapasan dan sirkulasi buatan
dengan ratio 2 : 15.
Caranya : 2 kali
peniupan pare secara cepat, sesudah 15 kompresi jantung.
Karena harus
berhenti untuk melakukan peniupan paru maka kecepatan 15 kompresi adalah 80
kompresi/menit ( 1 kali kompresi dalam detik ). Dua kali peniupan paru harus
dilakukan dengan cepat, dalam waktu 5 6 detik tanpa harus menunggu
ekshalasi penuh.
Bayi dan anak :
Untuk anak kecil hanya dipakai satu tangan, untuk bayi hanya dipakai ujung
telunjuk dan jari tengah. Ventrikel bayi dan anak kecil terletak lebih tinggi
dalam rongga dada, jadi tekanan hams dilakukan di bagian tengah tulang dada.
Bahaya robeknya hati lebih besar pada anak karena dada lebih lunak dan hati
terletak lebih tinggi di bawah tulang dada bawah dan xifoid. Tekananpada bayi 1
– 2 cm, pada tulang dada, anak kecil 2 – 4 cm. Jumlah kompresi antara 80 – 100
kali/ menit dengan napas buatan secepat mungkin tiap 5 kali kompresi.
Penarikan kepala bayi dan anak ke belakang akan mengangkat punggungnya.
Jadi bilamelakukan kompresi maka punggung si anak hams diganjal dengan tangan,
sedang tangan yang lain melakukan kompresi jantung.
Memeriksa efektifitas RJP
Selama melakukan RJP maka reaksi pupil harus diperiksa secara periodik,
karena ini adalah petunjuk yang paling baik dari oksigenisasi dan aliran darah
yang adekuat terhadap otak. Bila pupil dilatasi tapi masih ada refleks cahaya,
maka keadaannya lebih baik. Denyut A. karotis harus diperiksa secara periodik selama RJP
untuk mengetahui efektifitas KJL atau kembalinya denyut jantung spontan. Ini
harus dilakukan setelah 1 menit RJP dan selanjutnya tiap beberapa menit.
Pukulan prekordial (precardial thump) :
Dapat dilakukan oleh semua orang bila denyut nadi hilang pada orang dewasa,
pada keadaan :
1.
Henti jantung yang disaksikan
(misalnya sewaktu melakukan Tunjangan Hidup Dasar).
2.
Pasien yang dimonitor (misalnya
pasien yang mendapat Tunjangan Hidup Lanjutan di ICU).
3.
Blok atrioventrikular yang diketahui
(pada Tun jangan Hidup Lanjutan).
Tidak dianjurkan pada kasus henti jantung yang mungkin sudah mengalami
hipoksi atau anoksi, dan pada anak-anak. Dalam melakukan pukulan prekordial,
harus diperhatikan :
1.
pukulan harus 1 kali saja, keras,
cepat pada bagian tengah tulang dada, dipukul dengan bagian bawah kepalan
tangan dari setinggi 20 — 30 cm (Gambar 4).
2.
pukulan dilakukan dalam jangka waktu
1 menit setelah henti jantung.
3.
bila tidak ada respon segera
dilakukan Tunjangan Hidup Dasar, pukulan tidak perli diulang.
Teknik pada henti jantung yang disaksikan
:
§ tarik kepala
korban ke belakang untuk membuka jalan napas sambil meraba a. carotis.
§ bila tidak ada
denyut nadi, lakukan pukulan prekordial.
§ bila korban
tidak bernapas, berikan inflasi paru 4 kali dengan cepat.
§ bila nadi dan
pernapasan tidak pulih, segera lakukan RJP.
Teknik untuk
pasien yang dimonitor :
(pada pasien
yang tiba-tiba mendapat fibrilasi ventrikel, asistole atau takhikardi ventrikel
tanpa denyut nadi).
© berikan 1 kali
pukulan prekordia
© cepat periksa
alat monitor untuk ritme jantung dan sekaligus raba denyut A. carotis.
© bila temyata ada
fibrilasi ventrikel atau takikardi ventrikel disertai hilangnya denyut nadi,
lakukan defibrilasi (counter shock)secepat mungkin.
© bila denyut
tidak ada, tarik kepala ke belakang dan berikan 4 kali inflasi paru secara
cepat dan penuh.
© raba denyut
carotis lagi bila tidak ada denyut nadi, mulailah RJP.
Hal-hal yang
harus diperhatikan
1) RJP jangan
berhenti lebih dari 5 detik dengan alasan apapun kecuali pada keadaan-keadaan :
♪ kesulitan melakukan intubasi; inipun maksimal 15 detik.
♪ bila ingin naik/turun tangga, jangan lebih dari 15 detik.
2) Tidak perlu
memindahkan penderita ke tempat yang lebih baik, kecuali bila sudah stabil.
3) Jangan menekan
prosesus xifoideus pada ujung tulang dada, karena dapat berakibat robeknya
hati.
4) Di antara tiap
kompresi, tangan harus melepas tekanan tetapi melekat pada sternum, jari-jari
jangan menekan iga korban.
5) Hindarkan
gerakan yang menyentak. Kompresi harus lembut, teratur dan tidak terputus (50%
relaksasi).
6) Perhatikan
komplikasi yang mungkin terjadi karena RJP, misalnya : patah tulang dada,
terpisahnya iga dan rawan iga, pneumotorik, hematotorak, kontusio paru,
robeknya hati, lambung, emboli lemak dan sebagainya.
FASE II : TUNJANGAN HIDUP LANJUTAN
Terdiri atas Tunjangan Hidup Dasar, ditambah langkah- langkah :
D ( drugs ) : Pemberian obat-obatan, dimana
termasuk di dalamnya :
♪ pengobatan definitif, termasuk pemberian obat-obat untuk koreksi asidosis
dan memelihara irama jantung dan sirkulasi pemberian cairan intervena.
♪ penggunaan alat-alat tambahan, misalnya intubasi endotrakheal airway,
ventilator, oksigen dan sebagainya.
♪ stabilisasi kondisi penderita.
E (
electrocardiograph ) : Diagnosis elektrokardiografis untuk mengetahui adanya
fibrilasi ventrikel, asistole atau agonal ventricle complexes, dan monitoring.
F ( fibrillation treatment ) : Tindakan
defibrilasi untuk mengatasi fibrilasi ventrikel.
Pemberian obat-obatan umumnya diperlukan untuk penderita yang mendapat RJP. Obat-obatan sebaiknya
diberikan intravena agar cepat mencapai sistim kardiovaskular. Pemberian
intrakardial hanya terbatas pada epinefrin, pada awal henti jantung sebelum
jalan intravena tersedia. Obat-obatan dibagi 2 golongan yaitu :
1.
Penting, yaitu : Sodium bikarbonat,
Epinephrine, Sulfat Atropin, Lidokain, Morphin sulfat, Kalsium Khlorida;
oksigen juga dianggap obat yang penting.
2.
Berguna (useful) yaitu obat-obat
vasoaktif (Levarterenol), Isoproterenol (Metaraminol), Propranolol dan
Korticosteroid
Electrocardiographic monitoring :
Harus segera dilakukan pada semua pasien yang mengalami gejala /
kemungkinan serangan atau kolaps yang tiba-tiba. Kebanyakan kematian mendadak
setelah infark miokard disebabkan karena gangguan listrik, terutama setelah / beberapa
jam setelah kerusakan miokard atau iskhemi berat. Pada saat kritis ini pasien
harus dimonitor terus menerus.
Walaupun
perubahan irama jantung dapat terjadi mendadak, keadaan ini dapat dicegah
dengan pengobatan dan early detection.
Petugas harus
dapat mengenal paling sedikit disritmia ECG sebagai berikut :
1) Cardiac standstill (asistole ventrikel)
2) Bradikardi (denyut kurang dari 60 kali/menit)
3) Beda antara irama supra ventrtkular dan ventrikular
4) Kontraksi ventrikular prematur (frekuensi. multifokal dan R on T)
5) Takhikardi ventrikular
6) Fibrilasi ventrikel
7) Semua derajat blok atrioventrikular
8) Flutter dan fibrilasi atrium.
Defibrilasi (defibrillation treatment)
Fibrilasi ventrikel terutama terjadi karena insufisiensi koroner, efek
samping obat electrocution, hampir tenggelam, kateterisasi jantung pada jantung
yang sensitif atau sewaktu usaha resusitasi karena asistole. Pada fibrilasi
ventrikel, kerja jantung sulit kembali normal bila tanpa pengobatan
defibrilasi. Voltage rendah dapat menim- bulkan fibrilasi, sedangkan voltage
tinggi yang sesuai dengan dapat mengakhiri fibrilasi. Cara paling efektif untuk
mengakhiri fibrilasi ventrikel adalah electric counter shock; ini dapat
dilakukan dengan arus searah ( direct current ) atau arus bolak-balik (
alternating current ). Counter shock dengan arus searah lebih efektif pada
jantung yang besar, juga pada pasien yang hipothermi.
Sebelum melakukan counter shock jantung harus teroksigenisasi baik. Tenaga
yang dianjurkan untuk direct external counter shock adalah 20 watt sekon atau
lebih pada dewasa dan 100 watt sekon pads anak. Defibrilasi dengan arus
bolak-balik pada dewasa perlu 500 – 1000 volt dengan 0,1 – 0,25 detik, juga
harus dipakai kabel yang heavy duty untuk mencegah penurunan ampere. Dianjurkan
pemakaian energi tinggi karena kegagalan pada counter shock yang pertama akan
memperlambat mulainya sirkulasi spontan. Pemakaian counter shock energi tinggi
dari luar tidak akan mengakibatkan kerusakan jantung atau mengganggu kontraksi
spontan
FASE III : TUNJANGAN HIDUP TERUS MENERUS
G ( gauge ) : Pengukuran-pengukuran :
Tindakan selanjutnya ialah melakukan
monitoring terus menerus keadaan, terutama yang berhubungan dengan
kegawatannya, dan dilakukan pemeriksaan untuk evaluasi dan mencari penyebab keadaan
gawat tadi, dan mengobatinya. Monitoring dilakukan terutama untuk menilai
fungsi-fungsi pernapasan, peredaran darah dan susunan saraf.
H ( Head ) : Resusitasi otak :
Tindakan selanjutnya merupakan
resusitasi untuk menyelamatkan otak dan sistim saraf akibat cardiac arrest dari
kerusakan-kerusakan lebih lanjut, sehingga tercegah kelainan neurologik yang
permanen.
H ( hypothermia
)
H ( humanization
)
Harus diingat bahwa korban yang
ditolong adalah manusia, yang mempunyai perasaan sedih, takut, kesepian, marah
dan sebagainya. Oleh karena itu semua tindakan, seperti lazimnya tindakan
medik, hendaknya didasarkan perikemanusiaan.
I ( intensive care
) :
Dapat dilakukan di ICU ( General ICU
) yang dapat dibagi menjadi ICU dewasa dan ICU anak, atau dalam Special Care
Unit, seperti ICCU, Burn Unit, Neonatal Unit, Renal unit dan sebagainya.
AWAL DAN PENGAKHIRAN RJP
Resusitasi dilakukan pada infark jantung yang memberikan electric death, hipoksia akut,
keracunan dan kelebihan obat-obatan, electrocution, vagal reflex, tenggelam dan
kecelakaan lain yang kemungkinan hidup lebih lama. Pada acute respiration
distress reoksigenasi harus segera dimulai. Bila henti jantung telah
berlangsung lebih dari 10 menit, mungkin resusitasi tidak bisa memulihkan
penderita ke status SSP sebelum henti jantung; bila ragu saat terjadinya henti
jantung, segera saja lakukan RJP. Tidak perlu resusitasi pada stadium terminal
suatu penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Keputusan untuk memulai dan
mengakhiri usaha resusitasi adalah masalah medis, tergantung pada pertimbangan
penafsiran status serebral dan kardiovaskular penderita.
Kriteria terbaik adanya sirkulasi serebral dan adekuat adalah reaksi pupil,
tingkat kesadaran, gerakan dan pernapasan spontan dan refleks. Keadaan tidak
sadar yang dalam tanpa pernapasan spontan dan pupil tetap dilatasi 15 – 30
menit, biasanya menandakan kematian serebral dan usaha-usaha resusitasi
selanjutnya biasanya sia-sia. Kematian jantung sangat mungkin terjadi bila
tidak ada aktivitas elektrokardiografi ventrikuler secara berturut-turut selama
10menit atau lebih sesudah RJP yang tepat, termasuk terapi obat Pada anak atau
pada keadaan istimewa, resusitasi harus dilanjutkan lebih lama.
Tanda prognostik yang baik ialah cepat kembalinya refleks mata dan traktus
respiratorius bagian atas. Bila sirkulasi telah spontan dan tekanan darah lebih
dari 60 mmHg, kompresi jantung dapat dihentikan; ulangi KJL bila perlu.
Kemajuan-kemajuan di bidang resusitasi telah memberi berbagai definisi
kematian :
1) Mati Klinis :
hilangnya peredaran darah dan gerakan
pernapasan disertai hentinya aktivitas korteks serebri, tapi bersifat sementara
dan reversibel.
2) Mati biologic :
peredaran darah dan pernapasan dapat
dipertahankan secara spontan atau buatan, tetapi kegiatan korteks serebri tidak
dapat dikembalikan dan bersifat irriversibel.
3) Mati sosial :
peredaran darah dan pernapasan dapat
dipertahankan secara spontan / buatan, aktivitas korteks serebri masih ada tapi
abnormal, kesadaran penderita menurun/koma, dalam keadaan vegetatif yang tidak
mungkin dikembalikan.
Diagnosa
kematian otak yang pasti tidak dapat dibuat selama kompresi dada luar. Sebagai
pegangan keberhasilan resusitasi sangat kecil apabila resusitasi tersebut telah
dilakukan selama 60 menit.
Tidak timbul aktifitas listrik spontan atau
Hanya ada aktifitas listrik dengan kompleks
ventrikular yang diperpanjang atau cacat.
Adanya suatu fibrilasi ventrikel kasar yang
terus menerus dengan hilangnya amplitudo yang berturut-turut.
Dengan pembatasan tertentu, kematian
jantung yang pasti dapat diterima pada kasus ini.
Dalam keadaan
darurat, resusitasi dapat diakhiri bila ada salah satu dari berikut ini :
1. Telah timbul
kembali sirkulasi dan ventilasi spontan yang efektif.
2. Upaya resusitasi
telah diambil alih oleh orang lain yang bertanggungjawab meneruskan resusitasi
(bila tidak ada dokter).
3. Seorang dokter
mengambil alih tanggungjawab (bila tidak ada dokter sebelumnya).
4. Penolong terlalu
capai sehingga tidak sanggup meneruskan resusitasi.
5. Pasien
dinyatakan mati.
6. Setelah dimulai
resusitasi, ternyata kemudian diketahui bahwa pasien berada dalam stadium
terminal suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan atau hampir dapat
dipastikan bahwa fungsi serebral tidak akan pulih (yaitu sesudah ½
– 1 jam terbukti tidak ada nadi pada normotermia tanpa RJP).
KESIMPULAN
Bagian anestesi suatu rumah sakit atau fakultas kedokteran yang mendidik
calon ahli anesthesiologi dapat dipakai sebagai pusat pendidikan resusitasi
bagi para dokter dan paramedik. Tenaga medik dapat efektif melakukan resusitasi
bila telah berpartisipasi dalam suatu kursus yang mencakup praktek pada manikin
dan terlatih dalam pemeliharaan jalan napas dan ventilasi buatan pada
pasien-pasien yang dibius di bawah supervise ahli anesthesiologi. Kota-kota
besar memerlukan adanya emergency unit dengan jaringan yang luas, yang dapat
mengambil tindakan lebih awal dalam resusitasi dan usaha-usaha menolong
kehidupan di tempat kejadian, selama transportasi dan di rumah sakit.